Jakarta, CNBC Indonesia – Tentara Myanmar resmi mengumumkan keadaan darurat dan mengambil alih kekuasaan selama 12 bulan ke depan. Aksi kudeta ini dilakukan sebelum parlemen baru kembali bersidang pada Senin (1/2/2021).
Sebelum pengumuman ini, militer Myanmar menangkap para tokoh senior partai oposisi termasuk Presiden dan politisi Aung San Su Kyi. Wanita yang disebut sebagai pemimpin de facto Myanmar ini dikenakan tahanan rumah.
Kasus ini terjadi setelah militer Myanmar menuduh adanya kecurangan pada pemilihan umum November lalu yang memenangkan partai oposisi. Namun tudingan ini dibantah oleh komisi pemilihan umum Myanmar.
Menghadapi kondisi ini beberapa warga negara Myanmar mengungkapkan keresahannya di Twitter. Ada yang meminta agar demokrasi dikembalikan ke Myanmar dan ada juga yang meminta dukungan dan doa untuk Aung San Suu Kyi.
Informasi saja, usai pengumuman darurat dan pengambilalihan kekuasaan selama 12 bulan, Myint Swe yang merupakan Wakil Presiden saat ini ditunjuk sebagai presiden hingga tahun depan.
MelansirAFPmengutip pemberitaan TV Myawaddy yang dikelola militer, dalam sebuah pernyataan yang dibacakan dan ditandatangani Myint Swe mengatakan kendali atas “undang-undang, administrasi dan peradilan” telah diserahkan kepada Pemimpin Militer Min Aung Hlaing. Ini menandai secara efektif pengembalian kekuasaan Myanmar ke kekuasaan militer.
Kudeta militer ini menambah panjang rekam jejak pemerintah rezim militer di negeri yang dulunya bernama Burma ini. Sejak kemerdekaan dari Inggris tahun 1948, Myanmar telah diperintah oleh rezim militer. Ada dua kali kudeta yang dilakukan sebelumnya.
Jenderal Ne Win menggulingkan pemerintahan sipil pada tahun 1962, dengan alasan tidak cukup kompeten untuk memerintah. Dia memerintah negara itu selama 26 tahun, tetapi mengundurkan diri pada tahun 1988 setelah ‘kudeta sipil’ di mana protes besar-besaran di seluruh negeri terhadap stagnasi ekonomi dan pemerintahan otoriter.
Generasi baru pemimpin militer mengambil alih komando beberapa minggu kemudian. Alasannya perlunya memulihkan hukum dan ketertiban di negara itu. Namun pemimpin junta saat itu Jenderal Than Shwe mengundurkan diri pada 2011.
Dalam konstitusi 2008, peran politik berkelanjutan yang kuat untuk militer, memberi mereka kendali atas kementerian dalam negeri, perbatasan, dan pertahanan utama. Setiap perubahan membutuhkan dukungan dari anggota parlemen militer, yang menguasai seperempat kursi di parlemen negara tersebut.
Suu Kyi dan pemerintahnya telah mencoba untuk mengubah aturan itu sejak memenangkan pemilu 2015. Namun hanya ada sedikit keberhasilan. Selama masa jabatan terakhir, dia mengelak dari aturan yang mencegahnya mengambil alih kursi kepresidenan, dengan mengambil peran kepemimpinan de facto sebagai “penasihat negara”