Infopenguasa.com – Kasus penguntitan terhadap Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Ardiansyah oleh anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri, Bripda Iqbal Mustofa, telah menimbulkan keprihatinan di kalangan masyarakat. Meskipun sudah jelas bahwa tindakan tersebut terjadi, Polri tidak memberikan sanksi apapun kepada pelakunya, sebuah keputusan yang memicu kontroversi.
Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Sandi Nugroho, mengakui bahwa penguntitan ini terjadi pada Minggu, 19 Mei 2024. Namun, meski Bripda Iqbal Mustofa telah diperiksa oleh Biro Pengamanan Internal (Paminal) Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), ia tidak menerima sanksi apapun. “Kalau hasil pemeriksaannya, tidak ada masalah, berarti dari sisi disiplin etika dan pelanggaran lainnya juga tidak ada,” ujar Sandi di Mabes Polri, Jakarta, Kamis, 30 Mei 2024.
Sikap Polri ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai alasan di balik penguntitan tersebut. Sampai saat ini, Polri belum menjelaskan motif dari penguntitan ini maupun siapa yang memberikan perintah kepada Bripda Iqbal. “Kepolisian dan Kejaksaan dalam keadaan baik-baik saja, tidak ada masalah,” klaim Sandi, meskipun fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya.
Sikap defensif dan kurang transparan Polri dalam menangani kasus ini semakin memperburuk citra institusi penegak hukum di mata publik. Apalagi, Sandi menyebutkan bahwa patroli Brimob Polri yang mengelilingi kompleks Kejaksaan Agung pasca penguntitan Febrie adalah bagian dari patroli rutin. “Patroli itu merupakan tugas kepolisian dan setiap hari dilaksanakan,” kata Sandi. Namun, intensitas patroli yang meningkat menjelang Hari Bhayangkara menimbulkan kecurigaan bahwa ada upaya intimidasi yang disamarkan sebagai kegiatan rutin.
Kasus penguntitan Jampidsus ini dianggap selesai oleh Polri, tetapi banyak pihak meragukan keputusan tersebut. Menurut Sandi, memperpanjang kasus ini hanya akan menimbulkan kecurigaan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang ingin mengadu domba antara Polri dan Kejaksaan Agung. “Kalau misalnya itu masalah diperpanjang, justru kita curiga dengan adanya kita perpanjang masalah ini berarti ada pihak-pihak tertentu yang memang ingin mengadu domba antara Kejaksaan dan Kepolisian,” ucapnya.
Pernyataan Sandi bahwa hubungan antara Polri dan Kejagung baik-baik saja terlihat dari keakraban Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin di acara peluncuran GovTech di Istana Kepresidenan, Senin, 27 Mei 2024. Namun, banyak yang merasa bahwa keakraban tersebut tidak cukup untuk menutupi ketegangan yang terjadi di lapangan.
Sementara itu, pihak Kejagung mengungkapkan bahwa Bripda Iqbal Mustofa menguntit Febrie hingga ke sebuah restoran di kawasan Cipete, Jakarta Selatan, dua pekan lalu. “Bahwa memang benar ada isu, bukan isu lagi, fakta penguntitan di lapangan,” ungkap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, pada Rabu, 29 Mei 2024. Ketut menambahkan bahwa Bripda Iqbal telah melakukan profiling terhadap Febrie di ponselnya. “Sehingga pada saat itu juga kita serahkan kepada Paminal Polri sehingga tidak ada lagi di sini ya, pada saat itu malam itu juga karena yang bersangkutan anggota Polri kita serahkan kepada Polri untuk ditangani,” jelas Ketut.
Ketut juga menyebutkan bahwa konvoi anggota Brimob di sekitar kantor Kejagung merupakan rangkaian dari penguntitan Febrie. Namun, Febrie sendiri tidak mau berkomentar banyak mengenai kejadian tersebut. Menurutnya, peristiwa ini sudah diambil alih oleh Kejagung karena merupakan masalah kelembagaan. “Jadi kalau mengenai tadi kuntit-menguntit atau intip-mengintip ini sudah diambil alih oleh Jaksa Agung. Karena ini juga sudah menjadi urusan kelembagaan,” kata Febrie pada Rabu.
Keputusan Polri untuk tidak menjatuhkan sanksi kepada Bripda Iqbal serta penjelasan yang tidak memuaskan mengenai motif penguntitan ini menimbulkan spekulasi bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Banyak pihak merasa bahwa kasus Jampidsus ini menunjukkan adanya masalah serius dalam koordinasi dan hubungan antara Polri dan Kejaksaan Agung. Tindakan penguntitan terhadap pejabat tinggi seperti Jampidsus tidak boleh dianggap remeh dan harus diselidiki secara transparan.
Tanpa adanya sanksi dan penjelasan yang jelas, kasus Jampidsus ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap kedua lembaga penegak hukum tersebut. Publik membutuhkan kejelasan dan transparansi agar tidak ada lagi spekulasi negatif yang beredar. Kejadian ini seharusnya menjadi momentum bagi Polri dan Kejaksaan Agung untuk memperbaiki hubungan dan memastikan bahwa tindakan-tindakan serupa tidak terjadi di masa mendatang.
Baca juga: Mengapa Pembunuhan Vina Sulit Diungkap? Ini Kata Eks Kabareskrim!
Sumber: Kompas.