Kabar soal penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan pertalite terus menghiasi layar kaca pemberitaan jelang tutup tahun. Maklum, keduanya berkaitan dengan hajat hidup orang banyak.
Mulanya, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengisyaratkan akan menghapus BBM jenis premium. Hal itu terlihat dari sikap pemerintah yang terus mendorong masyarakat untuk melakukan transisi penggunaan BBM dari premium ke pertalite.
“Kita memasuki masa transisi di mana premium RON 88 akan digantikan dengan pertalite RON 90, sebelum akhirnya kita akan menggunakan bahan bakar yang ramah lingkungan,” kata Direktur Pembinaan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Soerjaningsih, dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM, Rabu (29/12).
Bahan bakar premium yang memiliki RON 88 nantinya akan digantikan menjadi pertalite dengan RON 90. Menurut Soerja, RON 90 merupakan bahan bakar energi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan RON 88.
Isyarat penghapusan premium juga datang dari Komisaris PT Pertamina (Persero) Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Menurutnya, premium dihapus lantaran kontribusi penjualannya kecil.
Di sisi lain, ia membantah penjualan pertalite dihapus tahun depan. Mantan orang nomor satu di DKI Jakarta itu memastikan Pertamina tetap menjual pertalite dan tak mengurangi porsi di setiap SPBU.
“Penjualan (premium) kecil. Pertalite hampir 80 persen dari total penjualan BBM,” kata Ahok.
Sementara, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati membantah kabar penghapusan premium dan pertalite pada 2022. Ia mengungkapkan rencana tersebut akan dilakukan secara bertahap dengan sejumlah pertimbangan.
Rencana itu sesuai dengan ketentuan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P20/Menlhk/Setjen/Kum1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang.
“Ketentuan dari ibu menteri KLHK 2017, ini untuk mengurangi karbon emisi maka direkomendasikan BBM yang dijual minimum RON 91,” ujar Nicke.
Dalam kesempatan berbeda, VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman menyatakan pihaknya akan membuat peta jalan bersama pemerintah agar masyarakat mengarah pada jenis BBM yang lebih berkualitas.
“Selanjutnya akan dibuatkan peta jalan bersama pemerintah untuk meneruskan upaya Indonesia bergerak ke BBM yang lebih berkualitas dan lebih ramah lingkungan,” jelas Fajriyah.
Ia tak menjelaskan lebih lanjut kapan pastinya pertalite akan dihapus.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan pemerintah sejatinya sudah sangat terlambat menghapus BBM jenis premium dan pertalite.
Pasalnya, dalam Pasal 3 Ayat 1 Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 disebutkan bahwa pemenuhan baku mutu emisi gas buang dilakukan melalui pengujian emisi gas buang, salah satunya bahan bakar dengan spesifikasi reference fuel menurut economic commission for europe (ECE).
Dalam Pasal 3 Ayat 2 dijelaskan pengujian emisi gas buang dalam hal reference fuel bisa dilakukan dengan menggunakan bahan bakar minyak dengan spesifikasi bensin RON minimal 91. Aturan ini berlaku satu tahun enam bulan sejak diundangkan pada 7 April 2017 lalu.
Dengan aturan itu, premium dengan RON 88 dan pertalite RON 90 seharusnya tak boleh lagi beredar sejak awal November 2018.
“Jadi sudah terlambat. Telat sekali. Ada dispensasi terus, 2020 kemarin covid-19 tapi sampai sekarang 2021 belum juga,” ungkap Fabby.
Menurut Fabby, aturan ini berkaitan dengan kesehatan masyarakat. Jika diabaikan seperti sekarang, maka pemerintah siap-siap menanggung biaya kesehatan lebih besar akibat udara kotor yang berasal dari kualitas BBM yang buruk.
“Kita semua tidak sadar biaya kesehatan bisa jauh lebih tinggi dalam bentuk menanggung biaya kesehatan publik lewat BPJS Kesehatan,” jelas Fabby.
Ia sadar jika premium dan pertalite dihapus, artinya masyarakat hanya punya satu pilihan dalam membeli BBM di SPBU Pertamina, yakni Pertamax. Harganya lebih tinggi dibandingkan dengan premium dan pertalite.
Mengutip laman resmi Pertamina, rata-rata harga pertamax tembus Rp9.000 per liter. Sementara, harga pertalite rata-rata hanya Rp7.000 per liter.
Berarti, ada selisih sekitar Rp2.000 per liter antara pertamax dan pertalite.
Meski begitu, Fabby menilai tak perlu ada dispensasi lagi. Sebab, dampak penggunaan premium dan pertalite akan buruk bagi kesehatan dan lingkungan.
“Indonesia telat sekali, persoalannya kalau sudah telat biaya yang ditimbulkan akan lebih besar, dampaknya ke kesehatan dan lingkungan tinggi,” ucap dia.