kompasiana.com – Hari Senin tanggal 1 Februari 2021 yang menjadi awal pertama masuknya bulan februari, dunia dikejutkan dengan berita penangkapan Aung San Suu Kyi dan Presiden Myanmar, Win Myint yang dimana penangkapan ini dilakukan oleh pihak militer Myanmar pada subuh dini hari. Selain Aung San Suu Kyi dan Presiden Myanmar, 147 pejabat Myanmar lainya baik yang berasal dari Parlemen dan militer yang pro terhadap Win Myint juga turut ditangkap. Penangkapan besar-besaran ini terjadi setelah pihak militer dengan Jenderal Min Aung Hlaing sebagai petinggi dan pemegang komando militer Myanmar menuding bahwa terjadi kecurangan yang dilakukan oleh Partai NLD yang merupakan partai pimpinan Aung San Suu Kyi untuk meraih kemenangan pada pemilu Myanmar yang berlangsung di bulan November 2020 lalu dengan mengalahkan Partai USDP yang merupakan partai oposisi.
Penangkapan besar-besaran terhadap Aung San Suu Kyi, Win Myint, dan ratusan pejabat Myanmar lainya secara tak langsung mengangkat dan menasbihkan Jenderal Min Aung Hlaing sebagai Presiden Myanmar untuk saat ini sekaligus mengembalikan kepemimpinan Myanmar ke tangan militer setelah selama 9 tahun lamanya, pemerintahan dan kepemimpinan Myanmar berada di tangan pemerintahan sipil yang bersifat demokratis. Setelah melakukan penangkapan dan pembersihan besar-besaran, setiap jalanan di berbagai sudut ibukota Myanmar, Yangoon dilewati oleh berbagai tank dan kendaraan militer lainya serta pasukan militer Myanmar yang berjaga yang menjadi tanda bahwa kudeta tersebut berjalan secara sukses. Insiden tersebut sempat mengejutkan dan mengakibatkan ketakutan di kalangan warga sipil kota Yangoon meskipun keesokan harinya, kondisi kembali berjalan normal dan kondusif.
TRAUMA DAN MEMORI KELAM AUNG SAN SUU KYI
Bagi Aung San Suu Kyi, insiden penangkapan terhadap dirinya dan juga pejabat tinggi lainya kembali membuka trauma dan luka lama yang terjadi pada 32 tahun silam dimana dirinya harus dijadikan sebagai tahanan rumah yang dilakukan oleh pihak junta militer yang saat itu dipimpin oleh Jenderal Sein Lwin yang juga menjabat sebagai Presiden Myanmar. Aung San Suu Kyi yang menjadi ikon dalam perjuangan penegakan demokrasi di negeri Myanmar yang selama puluhan tahun lamanya hidup dalam sistem pemerintahan militer yang diktator dan otoriter ini memang sejak kecil sudah merasakan pahitnya dan kejamnya politik Myanmar. Di usianya yang baru menginjak 2 tahun, Aung San Suu Kyi harus rela kehilangan ayahnya, Jenderal Aung San yang merupakan pahlawan nasional, pejuang kemerdekaan, dan pemimpin pertama negara Myanmar dimana Jenderal Aung San harus meregang nyawa di tangan rival politiknya yang juga berasal dari militer. Pada tanggal 19 Juli 1947, sebuah unit pasukan militer Myanmar memasuki gedung Sekretariat dan menembak mati Jenderal Aung San beserta 8 anggota kabinet baru lainya yang saat itu sedang mengadakan rapat dalam suatu ruangan pertemuan.
DEMOKRASI ADALAH KUTUKAN UnTUK MYANMAR ?
Setelah terjadi peristiwa kudeta militer pada tanggal 1 Februari 2021, kini banyak yang bertanya apakah Myanmar sudah terjutuk untuk menerima demokrasi sebagai ideologi negara mereka ? Mengingat militer sangatalah memiliki pengaruh yang kuat dalam pemerintahan Myanmar. Yang pasti, peristiwa kudeta tersebut telah menimbulkan banyak kecaman dari dunia Internasional termasuk presiden terpilih Amerika Serikat, Joe Biden yang mengancam akan memberikan sanksi yang tegas terhadap Myanmar dan selain itu negara-negara ASEAN seperti Indonesia juga berharap konflik ini dapat segera diselesaikan