Infopenguasa.com – Penanganan kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan dokter kandungan berinisial MSF di Kabupaten Garut memperlihatkan kelambanan serta lemahnya komitmen pemerintah dan lembaga profesi dalam melindungi hak pasien. Meskipun kasus ini telah mencuat ke publik, respons dari Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan HAM, serta lembaga etik profesi medis justru dinilai lamban, tertutup, dan tidak berpihak pada korban.
Majelis Disiplin Profesi Tenaga Medis Kementerian Kesehatan hingga kini belum mengeluarkan keputusan apapun terkait nasib MSF. Ketua majelis, Sundoyo, hanya menyampaikan bahwa pihaknya masih menunggu hasil pleno. Alih-alih menunjukkan sikap tegas, lembaga ini justru menahan informasi hasil pemeriksaan di lapangan dengan dalih akan menjadi bahan kajian internal. “Mohon maaf belum bisa kami sampaikan,” ujarnya di Polres Garut, Rabu, 16 April 2025.
Sikap tertutup ini memunculkan kecurigaan publik akan adanya upaya menunda keadilan. Padahal, tim majelis telah memeriksa dokter MSF, sejumlah tenaga kesehatan, dan klinik tempat praktik berlangsung. Namun tidak ada transparansi hasil. Dalam isu yang menyangkut keselamatan dan martabat pasien, ketertutupan semacam ini menunjukkan lemahnya keberpihakan terhadap korban.
Celakanya, kasus pelecehan seksual ini juga membuka borok pengawasan profesi medis di Indonesia. Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Jawa Barat, Hasbullah Fudail, secara terbuka mengakui bahwa majelis kode etik profesi selama ini kurang dilibatkan dalam pengawasan praktik dokter. Ironisnya, pengawasan justru dilakukan oleh dinas kesehatan yang sering kali melibatkan tenaga non-medis seperti apoteker atau tenaga lain yang tidak memiliki pemahaman menyeluruh tentang praktik kedokteran.
“Pengawas dokter bisa bukan dari kalangan medis. Ini memperlihatkan betapa sistem pengawasan di daerah sangat lemah dan berpotensi menimbulkan pelanggaran yang tidak terdeteksi,” ujar Hasbullah.
Pernyataan ini menjadi tamparan keras bagi Kementerian Kesehatan sebagai pihak yang memiliki wewenang penuh dalam pembinaan profesi medis. Kementerian dianggap gagal membangun sistem yang menjamin akuntabilitas dan integritas tenaga kesehatan di lapangan.
Lebih jauh, lemahnya koordinasi antar lembaga juga tampak dari lambannya tindak lanjut rekomendasi etik terhadap proses hukum. Berdasarkan UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, aparat penegak hukum harus menunggu rekomendasi dari majelis profesi sebelum memproses pelanggaran pidana oleh tenaga medis. Celah ini memberi ruang bagi pelaku untuk terus mengelak dari jeratan hukum karena keputusan etik tidak kunjung keluar.
Sementara itu, Polres Garut justru bergerak lebih cepat. Kapolres Garut, Ajun Komisaris Besar Mochamad Fajar Gemilang, menyatakan pihaknya telah melakukan penyelidikan langsung ke rumah para korban dan tengah mengumpulkan bukti tambahan. “Kami mendatangi warga yang jadi korban. Kemungkinan korbannya bertambah,” ujarnya. Ia juga mengungkapkan rencana peningkatan status MSF menjadi tersangka dalam waktu dekat.
Respons lambat dari pemerintah pusat dan lembaga profesi menjadi bukti nyata bahwa perlindungan pasien masih jauh dari ideal. Minimnya akuntabilitas, lemahnya pengawasan, serta birokrasi berbelit dalam urusan etik hanya memperkuat persepsi publik bahwa sistem kesehatan belum berpihak pada korban.
Jika tidak ada reformasi menyeluruh dalam sistem pengawasan profesi medis, maka pelecehan seksual seperti yang terjadi di Garut hanya akan menjadi bagian dari pola kegagalan struktural yang terus berulang.