Jakarta, CNBC Indonesia – Kudeta yang dilakukan oleh pihak militer di Myanmar pada 1 Februari lalu telah menyulut kemarahan warga secara luas. Warga Myanmar beramai-ramai turun ke jalan untuk meminta militer untuk menghentikan kudeta kekuasaan dan mengakui bahwa partai NLD Aung San Suu Kyi memenangkan pemilu November lalu.
Gelombang unjuk rasa ini juga diwarnai dengan beberapa aksi pemogokan para pekerja di Myanmar yang menuntut agar kekuasaan militer segera diakhiri. Tenaga medis misalnya, yang memutuskan untuk mogok kerja memprotes kudeta di tengah pandemi Covid-19 telah menghambat penanganan pandemi di negara itu.
Selain tenaga medis, dilansir Bangkok post, sekitar 90% dari 4.000 pengemudi truk kontainer di empat pelabuhan utama Yangon telah menghentikan pekerjaan yang memperlambat pengiriman ekspor dan impor.
Meskipun pengemudi mengatakan bahwa mereka akan mengangkut makanan, obat-obatan, dan kain penting untuk pabrik, hanya sekitar 30% dari volume kontainer normal yang bergerak melalui pelabuhan dan truk. Ekspor juga tertekan karena pembeli mencari pemasok alternatif jika sanksi ekonomi dijatuhkan ke Myanmar.
Demonstrasi masyarakat pro-demokrasi dan pembangkangan pekerja ini ternyata telah membawa babak yang lebih keras dalam aksi menentang kudeta di negara itu. Aparat keamanan mulai mengeluarkan tindakan kekerasan terhadap demonstran.
Pada aksi hari Minggu (28/2/2021) kemarin kantor hak asasi PBB mengatakan sedikitnya 18 orang tewas, beberapa terluka dan ratusan ditangkap ketika pasukan keamanan membubarkan demonstrasi pro-demokrasi di Myanmar.
Selain itu, melansir France24, Televisi MRTV yang dikelola pemerintah mengatakan lebih dari 470 orang telah ditangkap di seluruh negeri. Dikatakan polisi telah memberikan peringatan sebelum membubarkan orang-orang dengan granat setrum.
Hal ini memunculkan kemarahan internasional dan membuat dana bantuan untuk negara itu disumbat.Bank Dunia mengatakan telah menangguhkan pembayaran untuk proyek-proyek pembangunan yang didanai di Myanmar.
Jepang, donor utama, sedang mempertimbangkan untuk menghentikan proyek bantuan baru untuk sementara waktu. Selain Jepang dan Bank Dunia, Norwegia dan Selandia Baru juga menghentikan dana bantuannya untuk Myanmar.
Selain penghentian bantuan dana, sanksi juga diberikan beberapa negara seperti Inggris, Kanada, dan Amerika Serikat (AS) memberlakukan sanksi terhadap para jenderal di Myanmar atas pelanggaran hak asasi manusia setelah pengambilalihan militer di negara Asia Tenggara itu.
Sanksi ekonomi dan keuangan ini akan sangat merugikan negara mengingat tingginya tingkat investasi asing (FDI) yang dibutuhkannya. Perusahaan multinasional yang berinvestasi dari luar negeri cenderung sangat waspada mengingat risiko reputasi berurusan dengan rezim militer.
Sementara ekspor garmen kemungkinan akan terpukul paling parah, dengan sanksi keuangan yang diberlakukan oleh AS dapat membatasi penggunaan dolar AS untuk berdagang dan berinvestasi di Myanmar, yang juga akan menjadi pukulan nyata bagi perdagangan negeri seribu pagoda itu.
Dengan FDI yang menyumbang 5% dari produk domestik bruto (PDB), pelarian investor karena ketidakpastian politik dan pertumbuhan yang lebih lambat pasti akan menyebabkan pendapatan rumah tangga yang lebih rendah, dengan efek domino pada sektor konsumen, manufaktur, perbankan, dan properti.
Ditambah lagi, Myanmar mungkin akan mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari negara-negara ASEAN bila situasi di negara itu terus memanas. Saat iniIndonesia yang merupakan ekonomi terbesar di kawasan ini, sedang mendorong sangat keras untuk solusi damai yang dipimpin ASEAN melalui dialog untuk memulihkan demokrasi dan rekonsiliasi nasional di Myanmar.
Kudeta yang terjadi di Myanmar dimulai pada 1 Februari lalu. Kudeta ini diawali oleh penahanan Suu Kyi bersama Presiden Win Myint dan para pemimpin lainnya oleh kelompok militer.
Penahanan yang berujung kudeta itu dilakukan setelah berhari-hari ketegangan meningkat antara pemerintah sipil dan junta militer. Partai Liga Nasional Untuk Demokrasi (NLD) besutan Aung San Suu Kyi meraih kemenangan gemilang dalam pemilu 8 November lalu. Pemilihan ini dianggap dianggap sebagai bebas dan adil oleh pengamat internasional sejak berakhirnya kekuasaan militer langsung pada tahun 2011.
Namun kelompok militer menilai terjadi kecurangan pemilih yang meluas meski sudah dibantah oleh komisi pemilihan. Hal ini telah menyebabkan konfrontasi langsung antara pemerintah sipil dan militer.
Pemimpin tertinggi Tatmadaw Jenderal Senior Min Aung Hlaing bersikeras bahwa kudeta militer adalah langkah yang dibenarkan. Ia masih berdalih pemilu yang dilakukan November itu curang sehingga harus diadakan kembali. Dalam melaksanakan pemilu ulang, pihak militer menetapkan status darurat nasional selama setahun kedepan.