Mahkamah Agung (MA) memberikan penjelasan terkait putusan hakim yang memerintahkan pengembalian seluruh aset milik Helena Lim, terdakwa kasus korupsi tata niaga timah. Juru Bicara MA, Yanto, menyatakan bahwa pengembalian aset dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa aset-aset tersebut tidak memiliki keterkaitan dengan tindak pidana yang didakwakan.
“Kalau aset tersebut dikembalikan, artinya tidak ada kaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan terdakwa,” jelas Yanto saat ditemui di Media Center MA, Jakarta, Kamis (2/1/2025).
Yanto juga menegaskan bahwa hakim akan tetap menyita aset yang terbukti terkait dengan kejahatan. Penyitaan aset dilakukan sesuai ketentuan hukum, seperti yang diatur dalam Pasal 39 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Penyitaan harus berdasarkan bukti keterkaitan dengan tindak pidana, baik sebagai hasil kejahatan maupun alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana,” tambah Yanto.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat memerintahkan jaksa penuntut umum untuk mengembalikan seluruh aset yang disita dari Helena Lim. Ketua Majelis Hakim, Rianto Adam Pontoh, menyatakan bahwa aset-aset tersebut diperoleh sebelum terjadinya tindak pidana korupsi.
“Aset yang tidak terkait dugaan tindak pidana haruslah dikembalikan kepada terdakwa Helena,” ujar Hakim Pontoh dalam persidangan pada Senin (30/12/2024).
Majelis hakim menilai bahwa penyitaan aset oleh Kejaksaan Agung tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam KUHAP. Dalam pembelaannya, Helena dan tim kuasa hukumnya juga menyampaikan bahwa sebagian besar aset telah dilaporkan melalui program pengampunan pajak (tax amnesty) pada 2016 dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada 2022.
Baca juga: Mahfud MD Kritik Vonis Ringan terhadap Harvey Moeis dalam Kasus Korupsi Timah
Hakim Pontoh menjelaskan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 37 Tahun 2016 menyatakan bahwa aset yang telah diikutsertakan dalam program tax amnesty dan PPS memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dengan demikian, aset tersebut tidak dapat disita dan dijadikan dasar untuk penyelidikan atau penuntutan pidana.
“Aset yang sudah dilaporkan dalam program tax amnesty dan PPS memiliki validitas yang jelas, sehingga demi hukum tidak dapat disita,” tegas Pontoh.
Dalam kasus ini, Helena Lim dijatuhi hukuman lima tahun penjara dan denda sebesar Rp 750 juta subsidair enam bulan kurungan. Selain itu, ia juga diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 900 juta subsidair satu tahun kurungan. Majelis hakim menyatakan bahwa Helena terbukti membantu Harvey Moeis dan kawan-kawan dalam melakukan tindak pidana korupsi pada tata niaga komoditas timah.
Keputusan ini menimbulkan berbagai tanggapan, termasuk dari pihak Kejaksaan Agung yang menyatakan akan mengkaji lebih lanjut putusan terkait pengembalian aset tersebut.
Kasus ini kembali memicu diskusi publik tentang perlakuan hukum terhadap terdakwa yang dikenal sebagai “crazy rich PIK”. Beberapa pihak mendukung keputusan pengadilan dengan alasan bahwa aset yang tidak terkait tindak pidana memang seharusnya dikembalikan. Namun, ada juga yang mempertanyakan mengapa hukuman yang dijatuhkan kepada Helena Lim dianggap lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa.
Dalam perjalanannya, kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan pelaku dari kalangan kelas atas yang memiliki pengaruh besar dalam dunia bisnis. Masyarakat menantikan langkah berikutnya dari Kejaksaan Agung dan perkembangan lebih lanjut mengenai kasus ini.
Dengan putusan ini, MA menegaskan pentingnya keadilan yang berlandaskan hukum, di mana setiap keputusan harus didukung oleh bukti dan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.