Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai hukuman mati bagi terdakwa kasus korupsi PT Asabri, Heru Hidayat, tidak tepat. ICW meyakini hukuman mati bukan merupakan jenis pemidanaan yang ideal bagi pelaku korupsi.
“Sebab, hingga saat ini belum ada literatur ilmiah yang bisa membuktikan bahwa hukuman mati dapat menurunkan angka korupsi di suatu negara,” kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Rabu, 8 Desember 2021.
Kurnia menilai selama ini, justru negara-negara yang menempati posisi puncak dalam Indeks Persepsi Korupsi atau dianggap paling bersih dari praktik korupsi tidak memberlakukan hukuman mati. Bagi ICW, hukuman ideal bagi pelaku korupsi adalah kombinasi antara pemenjaraan badan dengan perampasan aset hasil kejahatan atau sederhananya dapat diartikan pemiskinan.
“Sayangnya, dua jenis hukuman itu masih gagal diterapkan maksimal. Dalam catatan ICW, rata-rata hukuman koruptor hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Begitu pula pemulihan kerugian keuangan negara yang sangat rendah,” kata Kurnia.
Kurnia melihat upaya perbaikan mendasar untuk menunjang kerja penegak hukum agar bisa menghukum maksimal pelaku korupsi juga enggan ditindaklanjuti oleh pemerintah dan DPR. Ia mencontohkan RUU Perampasan Aset dan Revisi UU Tipikor.
“Dua regulasi itu selalu menjadi tunggakan, bahkan perkembangan terbaru juga tidak dimasukkan dalam daftar prolegnas prioritas 2022,” kata Kurnia.
Selain itu, ICW juga mengaku kaget dan menyoroti sikap Jaksa Agung ST Burhanuddin yang menuntut perkara-perkara seperti Jiwasraya dan Asabri dengan tuntutannya sangat tinggi. Hal ini seakan bertolak belakang dengan tuntutan terhadap Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang notabene berprofesi sebagai penegak hukum.
Sebelumnya, Jaksa penuntut umum menuntut Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dengan hukuman mati dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin, 6 Desember 2021. Heru dinilai terbukti melakukan korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 22,788 triliun dari pengelolaan dana PT Asabri (Persero) serta pencucian uang.