InfoPenguasa.com – Pada Sabtu malam, 24 Agustus 2024, Muhaimin Iskandar atau yang akrab disapa Cak Imin kembali terpilih secara aklamasi sebagai Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk periode 2024-2029 dalam Muktamar PKB ke-6 yang diselenggarakan di Bali. Keputusan ini diperoleh melalui sidang pleno Muktamar PKB yang dihadiri oleh seluruh Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PKB dari 38 provinsi di Indonesia. Namun, terpilihnya Cak Imin yang memimpin PKB sejak 2005 ini menimbulkan berbagai kontroversi dan kritik dari berbagai kalangan yang menilai bahwa proses ini menunjukkan kemunduran dalam praktik demokrasi internal partai.
Dalam sidang pleno tersebut, Ketua Pimpinan Pleno Jazilul Fawaid mengajukan pertanyaan kepada forum mengenai pemberian mandat kepada Cak Imin sebagai Ketua Umum DPP PKB untuk masa bakti 2024-2029 sekaligus menjadi mandataris tunggal Muktamar PKB 2024. Tanpa adanya oposisi atau suara yang berbeda, seluruh peserta muktamar sepakat menyetujui usulan tersebut. “Setuju!” seru mereka serentak, seolah tidak ada ruang bagi perbedaan pendapat.
Meskipun muktamar ini digambarkan sebagai kemenangan besar bagi Cak Imin, tidak dapat dipungkiri bahwa keputusan aklamasi tersebut mencerminkan lemahnya mekanisme demokrasi di dalam tubuh PKB. Proses pemilihan yang seharusnya memberikan ruang bagi diskusi dan kontestasi yang sehat, malah diwarnai oleh sikap antikritik dan mengabaikan potensi regenerasi kepemimpinan di dalam partai.
Sejumlah pihak mengkritik keputusan ini sebagai bentuk kartel politik yang semakin menguat dalam kancah perpolitikan Indonesia. Mereka berpendapat bahwa ketidakadaan lawan atau alternatif yang diajukan dalam muktamar merupakan indikasi bahwa kekuasaan di dalam PKB telah terpusat pada segelintir elite partai yang tidak menghendaki perubahan. “Ini bukan sekadar masalah siapa yang terpilih, tetapi tentang bagaimana proses itu dilakukan. Aklamasi tanpa lawan hanya memperlihatkan bahwa demokrasi di dalam partai ini telah mati,” kata seorang pengamat politik yang tidak ingin disebutkan namanya.
Baca juga: Ridwan Kamil Usulkan ‘Satu Kecamatan Satu Arsitek’, Realistis atau Janji Kosong?
Selain itu, alasan yang dikemukakan oleh DPW PKB untuk mendukung Cak Imin juga menimbulkan pertanyaan. Salah satunya adalah keberhasilan PKB dalam menambah perolehan kursi di parlemen di bawah kepemimpinan Cak Imin. Namun, prestasi ini dinilai tidak cukup untuk menjustifikasi keputusan aklamasi tersebut. Banyak pihak melihat bahwa kepemimpinan yang stagnan selama hampir dua dekade berpotensi menghambat inovasi dan perkembangan partai dalam menghadapi tantangan politik di masa depan.
Dalam konteks Pilpres 2024, meskipun Cak Imin berhasil menduduki posisi sebagai calon wakil presiden mendampingi Anies Baswedan, pasangan ini hanya mampu menempati urutan kedua dalam perolehan suara, kalah dari pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Kekalahan ini menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas kepemimpinan Cak Imin dalam menggalang dukungan di luar basis tradisional PKB. “Cak Imin mungkin populer di kalangan internal PKB, tetapi di luar itu, elektabilitasnya terbukti tidak cukup kuat,” ujar seorang analis politik.
Lebih lanjut, kritik juga datang dari internal partai yang merasa bahwa muktamar kali ini hanya menjadi ajang untuk memperkuat dominasi Cak Imin tanpa memberikan kesempatan kepada kader-kader muda untuk tampil. Beberapa kader muda PKB yang berbicara secara anonim menyatakan kekecewaannya terhadap proses aklamasi ini, yang mereka anggap tidak demokratis dan tidak mencerminkan semangat regenerasi. “Kami berharap ada ruang bagi kami untuk berpartisipasi dalam proses kepemimpinan, tetapi ternyata suara kami tidak didengar,” kata seorang kader muda PKB.
Dengan terpilihnya Cak Imin untuk periode kelima sebagai Ketua Umum PKB, partai ini tampaknya akan menghadapi tantangan besar ke depan, terutama dalam membangun kembali kepercayaan publik terhadap komitmen mereka terhadap demokrasi dan regenerasi kepemimpinan. Keputusan aklamasi ini bukan hanya menjadi catatan hitam bagi PKB, tetapi juga menjadi cermin bagi seluruh partai politik di Indonesia tentang pentingnya menjaga proses demokrasi internal yang sehat dan adil.
Apakah PKB akan mampu menjawab tantangan ini dan membuktikan bahwa mereka tetap relevan dalam kancah politik Indonesia, atau justru akan semakin terjebak dalam praktik-praktik yang anti-demokrasi? Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Sumber: Tempo.