Jakarta, INDONEWS.ID — Apa masalah utama dari sistem kita yang ruwet seperti sekarang ini?
Tentu ada masalah ekonomi, sosial dan lain sebagianya. Tetapi ada satu masalah yang sangat menentukan semua aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain.
“Dan itu adalah sistem demokrasi kita hari ini yang merupakan demokrasi kriminal (criminal democracy),” ujar tokoh nasional dan aktivis pergerakan Rizal Ramli dalam video yang diunggahnya di Jakarta, Kamis (8/7).
Mantan Menko Perekonomian itu mengatakan, setelah kejatuhan Soeharto, pihaknya bersama tema-teman memperjuangkan supaya sistem otoriter berubah menjadi demokratis. Menurutnya, pihaknya memang telah menang, tapi hanya sementara saja. Karena pemerintahan yang demokratis itu hanya terjadi pada era Presiden Gus Dur dan Habibie. Setelah itu sistem demokrasi pelan-pelan dibajak.
“Setelah itu pelan-pelan kita semakin otoriter. Money politics terjadi semakin luas dan dasyat merasuki kehidupan sosial politik bangsa,” ujarnya.
Mengapa hal itu terjadi? Menurut bang RR – sapaan Rizal Ramli – hal itu terjadi karena para pejabat politik yang menduduki jabatan dalam pemerintahan harus menyetor sejumlah uang kepada partai politik agar bisa dicalonkan. Dia mencontohkan, calon bupati harus menyetor Rp20-60 miliar, calon gubernur Rp100-300 milyar. Dan yang menjadi calon presiden jauh lebih besar yaitu mencapai Rp1,5 triliun.
Hal tersebut, katanya, adalah akibat dari sistem threshold atau ambang batas pencalonan. Karena itu, semua calon harus diajukan oleh minimal 20 persen suara di DPR.
“Sistem ini membuat calon pemimpin kita ditentukan oleh partai politik. Padahal dalam sistem demokrasi tidak terjadi demikian. Tapi calon ditentukan oleh rakyat. Kok ada partai yang membatasi rakyat dalam memilih pemimpin yang bagus,” ujarnya.
Selain itu, kata alumnus ITB itu, dirinya betul-betul tidak mengerti karena money politics dan demokrasi kriminal tersebut telah dilegalisasi oleh Mahkamah Konstitusi. Padahal dalam konstitusi, UUD 45 maupun hasil amandemen, sudah tidak ada pasal yang mengatur threshold. Karena itu, sistem ambang batas ini hanya dibuat-buat oleh MK yang hanya mau menjadikan politik di Indonesia ini hanya akan dikuasai oleh kaum berduit dan akhirnya menjadi demokrasi kriminal.
Mantan Menko Kemaritiman ini mengatakan, padahal, banyak dari calon pemimpin kita tidak mempunyai uang untuk menyewa partai politik, dan menyewa perusahaan survei untuk melakukan berbagai survei. Dengan demikian, ketika terpilih, mereka berada di bawah pengaruh para bandar yang sebelumnya telah menyetor sejumlah uang.
Karena itu, kita bisa memahami bahwa ketika berkuasa mereka jarang sekali mengeluarkan pernyataan yang membela rakyatnya. Para pejabat tersebut, katanya, hanya bisa mengatakan bahwa “kita membutuhkan investasi yang besar karena itu pula membutuhkan modal yang besar”. Karena itu para cukong tersebut diberi kemewahan pengurangan pajak, sementara rakyat dibebani dengan kenaikan harga listrik.
Karena itu, kata mantan Kepala Bulog ini, sudah waktunya kita harus berubah. “Demokrasi kriminal diubah dengan demokrasi yang bersih dan amanah. Itulah satu-satunya jalan agar para pejabat yang terpilih nanti sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat, bukan untuk para bandar. Kita harus rombak sistem yang membuat terpilihnya para pejabat dengan kualitas KW2, KW 3 bahkan KW 4. Kita ganti dengan kualitas pemimpin yang bagus, yang memiliki karakter kuat, integritas kuat sehingga mereka juga bisa ikut berkompetisi dalam sistem demokrasi ini,” ujar mantan anggota tim panel penasihat ekonomi PBB tersebut.
Mantan penasihat fraksi ABRI di DPR RI ini mengatakan bahwa dirinya senang karena Ketua DPD, La Nyalla Mattalitti, telah berinisiasi untuk memperjuangkan penghapusan threshold. Juga Refli Harun yang menjadi pengacara bagi kawan-kawan di MK untuk menghapus threshold maupun Rokcy Gerung yang juga menginginkan perubahan bagi Indonesia.
“Kita melihat bahwa bangsa ini makin lama bukannya tambah baik tapi malah menjadi semakin anjlok, makin ketinggalan dan makin otoriter. Karena itu kita harus berubah agar demokrasi kriminal itu berubah menjadi demokrasi yang amanah dan bersih. Kita harus memastikan agar demokrasi itu bekerja untuk keadilan dan kesejahteraan. Kita satukan tekad, pikiran untuk mengapuskan threshold yang bersifat kriminal tersebut,” pungkasnya. (*)