Infopenguasa.com – Kebijakan pemberian tunjangan rumah bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebesar Rp50 juta per bulan menuai perhatian luas. Dengan tambahan tunjangan ini, total pendapatan resmi seorang anggota DPR diperkirakan melampaui Rp100 juta setiap bulan.
Perbedaan penerimaan antara periode sebelumnya dan periode saat ini dijelaskan Sekretaris Jenderal DPR, yang menyebut tunjangan rumah menjadi faktor utama peningkatan tersebut. Kebijakan ini dituangkan dalam surat Setjen DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024.
Namun, besarnya angka tersebut menimbulkan kritik. Banyak pihak menilai nominal Rp50 juta untuk sewa rumah per bulan tergolong berlebihan. Apalagi, dalih kedekatan lokasi dengan gedung DPR dianggap tidak relevan mengingat tingkat kehadiran anggota dewan dalam sidang masih jauh dari maksimal.
Di sisi lain, masyarakat tengah menghadapi tekanan ekonomi. Kenaikan harga kebutuhan pokok, rencana penyesuaian tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen, hingga kenaikan pajak bumi dan bangunan (PBB) di sejumlah daerah membuat beban warga semakin berat. Data Badan Pangan Nasional bahkan menunjukkan harga beras terus naik. Rata-rata beras premium mencapai Rp16.088 per kilogram, di atas harga eceran tertinggi nasional.
Selain itu, kondisi ketenagakerjaan juga tidak menggembirakan. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, sebanyak 42.385 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja sepanjang Januari hingga Juni 2025. Angka tersebut meningkat lebih dari 30 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya.
Dalam situasi ini, pengamat menilai DPR semestinya mempertimbangkan aspek kepatutan sebelum menetapkan kebijakan tambahan tunjangan. Apalagi, jika dihitung secara keseluruhan, biaya tunjangan rumah ini berpotensi menghabiskan Rp1,74 triliun selama masa jabatan lima tahun. Perhitungan itu didasarkan pada asumsi 580 anggota DPR dikalikan Rp50 juta per bulan selama 60 bulan.
Kritik juga diarahkan pada aspek kinerja. Banyak kalangan menilai hasil kerja legislasi belum menunjukkan pencapaian yang signifikan. Beberapa program legislasi nasional bahkan kerap tertunda akibat minimnya kehadiran anggota dewan dalam rapat pembahasan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan publik mengenai relevansi antara besarnya tunjangan dengan kualitas kerja yang ditunjukkan.
Sebelum adanya tambahan tunjangan perumahan, anggota DPR sebenarnya sudah memperoleh berbagai fasilitas dan tunjangan. Mulai dari tunjangan istri atau suami, tunjangan anak, uang sidang, tunjangan jabatan, hingga tunjangan komunikasi. Belum lagi bantuan listrik, telepon, dan dana lain yang menyertai. Jika seluruh komponen digabungkan, seorang anggota DPR bisa membawa pulang lebih dari Rp50 juta per bulan, di luar tunjangan rumah serta biaya perjalanan dinas.
Kebijakan ini kontras dengan langkah pemerintah yang tengah melakukan efisiensi anggaran di berbagai instansi eksekutif. Pemangkasan tersebut berdampak pada pelayanan publik, mulai dari keterbatasan fasilitas hingga penurunan kualitas layanan. Sementara DPR justru menambah pos pengeluaran yang membebani keuangan negara.
Dalam perdebatan yang muncul, tuntutan publik semakin kuat agar kebijakan tunjangan rumah ini ditinjau kembali. Banyak yang menilai keputusan tersebut tidak mencerminkan sensitivitas terhadap kondisi ekonomi masyarakat.








