Infopenguasa.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap dugaan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax dengan Pertalite dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023. Dugaan ini melibatkan PT Pertamina Patra Niaga yang disebut membeli Pertalite dengan harga Pertamax, kemudian mencampurnya di fasilitas penyimpanan.
Dalam keterangannya, Kejagung menjelaskan bahwa dalam pengadaan produk kilang, tersangka RS melakukan pembelian bahan bakar dengan spesifikasi Research Octane Number (RON) 92 atau Pertamax. Namun, yang dibeli sebenarnya adalah BBM dengan RON 90 atau lebih rendah, lalu dilakukan pencampuran agar sesuai dengan standar Pertamax. Praktik ini dinyatakan tidak diperbolehkan karena melanggar regulasi yang berlaku.
Pertamax Oplos Merugikan Konsumen dan Negara
Mantan Ketua Komisi Advokasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Rolas Sitinjak, menegaskan bahwa tindakan tersebut merugikan konsumen karena tidak mendapatkan BBM sesuai dengan harga yang dibayarkan. Ia mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mewajibkan penjual untuk memberikan informasi yang jelas dan jujur kepada konsumen.
“Masyarakat telah mempercayakan kebutuhan BBM kepada pemerintah melalui Pertamina. Jika dugaan ini benar, maka kepercayaan publik bisa runtuh,” kata Rolas, Selasa (25/2/2025). Ia pun mendesak pemerintah melakukan audit menyeluruh terhadap PT Pertamina Patra Niaga guna memastikan tidak ada lagi praktik serupa yang merugikan negara hingga Rp193,7 triliun.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR, Eko Hendro Purnomo, menilai bahwa kasus ini mencoreng kredibilitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ia meminta manajemen BUMN memperketat pengawasan internal dan meningkatkan transparansi dalam distribusi BBM.
Dampak Salah Jenis BBM pada Kendaraan
Pakar otomotif dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Jayan Sentanuhady, menjelaskan bahwa pemakaian BBM dengan oktan yang tidak sesuai dapat berdampak buruk pada kendaraan. Pertalite dengan RON 90 umumnya digunakan untuk kendaraan bermesin kecil, sementara kendaraan dengan mesin berkapasitas besar atau teknologi canggih memerlukan BBM beroktan tinggi seperti Pertamax.
“Jika kendaraan yang seharusnya menggunakan Pertamax dipaksa memakai BBM dengan oktan lebih rendah, pembakaran dalam mesin menjadi tidak sempurna. Ini bisa menyebabkan knocking, menurunkan akselerasi, serta meningkatkan risiko kerusakan mesin,” kata Jayan.
Respons Pertamina
Menanggapi temuan Kejagung, PT Pertamina (Persero) memastikan bahwa distribusi energi kepada masyarakat tetap berjalan normal meski sejumlah petinggi anak usaha telah ditetapkan sebagai tersangka. Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, menegaskan bahwa BBM jenis Pertamax yang beredar di masyarakat sudah sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan.
“Narasi oplosan itu tidak sesuai dengan apa yang disampaikan Kejagung. Yang dipermasalahkan adalah mekanisme pembelian RON 90 dan RON 92, bukan pencampuran ilegal,” ujar Fadjar.
Meski demikian, Pertamina menyatakan menghormati proses hukum yang tengah berjalan dan siap bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam mengusut kasus ini. Sementara itu, DPR berencana memanggil Menteri BUMN Erick Thohir dan petinggi Pertamina untuk meminta klarifikasi lebih lanjut mengenai kasus dugaan korupsi ini.
Dengan nilai kerugian negara yang mencapai ratusan triliun rupiah, publik kini menantikan langkah tegas dari pemerintah untuk menuntaskan kasus ini dan mencegah terulangnya praktik serupa di masa depan.