Infopenguasa.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjadi sorotan setelah berhasil menangkap Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang penuh tantangan pada Sabtu (23/11/2024). Direktur Penyidikan KPK, Asep Guntur, mengungkapkan bahwa proses penangkapan tersebut jauh dari kata mudah.
Menurut Asep, Rohidin berpindah-pindah lokasi, membuat tim penyidik harus mengejarnya selama tiga jam. “Tidak semudah yang dibayangkan. Saat itu, Saudara RM tidak ada di tempat, tetapi kami memantau. Ketika dia kembali, kami ingin menangkapnya, namun dia menuju Bengkulu Utara hingga arah Padang,” ujar Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta, Senin (25/11/2024).
Proses penangkapan semakin rumit karena Rohidin terus berpindah lokasi. Untuk menghindari risiko serangan dari simpatisan yang memadati lokasi, penyidik bahkan memakaikan Rohidin rompi polisi lalu lintas sebagai bentuk penyamaran. “Itu dipinjamkan rompi Polantas untuk kamuflase agar tidak menjadi sasaran,” tambah Asep.
Setelah berhasil menangkap Rohidin, tim penyidik membawa dia ke Mapolres untuk pemeriksaan. Namun, di lokasi tersebut, mereka dihadang oleh kerumunan simpatisan yang membuat situasi semakin berisiko. “Kami harus memastikan keselamatan semua pihak, baik personel KPK maupun delapan orang lainnya yang kami bawa,” jelasnya.
Baca juga: Komjen Arif Wachyunadi Mengenalkan Sejarah Polisi Istimewa Melalui Peringatan Hari Juang Polri
OTT ini juga mendapat kritik tajam terkait langkah KPK yang harus mengubah strategi untuk menyelamatkan tersangka dari kemungkinan serangan simpatisan. Keputusan ini memunculkan pertanyaan mengenai kesiapan KPK dalam menangani situasi lapangan yang dinilai kurang optimal.
Selain itu, aksi simpatisan yang mengepung lokasi pemeriksaan dinilai menunjukkan lemahnya pengamanan dalam operasi sebesar ini. Situasi ini menimbulkan kesan bahwa KPK belum sepenuhnya mengantisipasi segala kemungkinan di lapangan.
Dalam kasus ini, Rohidin Mersyah diduga terlibat dalam tindak pidana pemerasan dan gratifikasi di lingkungan Pemerintah Provinsi Bengkulu. Bersama Rohidin, dua nama lainnya juga ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu, Isnan Fajri, dan ajudan gubernur, Evriansyah alias Anca.
“KPK menetapkan RM, Gubernur Bengkulu, sebagai tersangka,” ujar Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata. Ketiga tersangka disangkakan melanggar Pasal 12 huruf e dan Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah menjadi UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 KUHP. Mereka ditahan di Rutan Cabang KPK selama 20 hari pertama, terhitung sejak 24 November 2024.
Langkah KPK dalam OTT ini memicu pro dan kontra. Beberapa pihak mempertanyakan efektivitas koordinasi KPK dalam menghadapi tantangan di lapangan. Selain itu, penyamaran menggunakan atribut Polantas dianggap dapat mencoreng citra institusi penegak hukum lain.
Kritik juga muncul terkait dengan pengamanan proses hukum yang seharusnya lebih tegas dalam menghadapi massa simpatisan. “Penggunaan rompi Polantas bukan solusi ideal, melainkan bentuk kompromi yang dapat berbahaya bagi kepercayaan publik,” ujar seorang pengamat hukum.
OTT ini menunjukkan bahwa KPK masih menghadapi tantangan besar dalam memberantas korupsi, terutama ketika berhadapan dengan pejabat tinggi yang memiliki pengaruh kuat. Namun, keberanian lembaga antirasuah ini untuk tetap menangani kasus besar seperti ini patut diapresiasi, meskipun evaluasi menyeluruh terhadap strategi operasional menjadi keharusan.