InfoPenguasa.com – Kabar kebebasan bersyarat Jessica Wongso, terpidana kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, pada Minggu (18/8/2024) memicu kontroversi dan perdebatan publik. Langkah Jessica dan tim kuasa hukumnya yang dipimpin Otto Hasibuan untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) dianggap sebagai upaya untuk menantang sistem hukum Indonesia yang telah menjatuhkan vonis bersalah kepadanya.
Otto Hasibuan, selaku kuasa hukum Jessica, menyatakan bahwa pihaknya akan mengajukan PK dengan alasan bahwa putusan pengadilan sebelumnya tidak didasarkan pada fakta yang kuat. “Kami merasa bahwa putusan tersebut tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi. Karena itu, kami akan mencoba mengajukan PK untuk mengoreksi keputusan tersebut,” ujar Otto di Senayan Avenue, Jakarta, Minggu (18/8/2024).
Otto menekankan bahwa keputusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman kepada Jessica Wongso dinilai tidak mempertimbangkan bukti secara menyeluruh. Salah satu kekhawatiran utama Otto adalah tidak dilakukannya otopsi terhadap Mirna untuk memastikan penyebab kematiannya. “Dalam kasus ini, Mirna dinyatakan meninggal karena minum racun sianida, namun tidak ada otopsi yang dilakukan. Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan seseorang meninggal karena racun tanpa otopsi?” tegas Otto dengan nada penuh kekecewaan.
Bagi Otto, pengadilan yang adil seharusnya melakukan otopsi untuk memastikan penyebab kematian Mirna. Ia mempertanyakan bagaimana mungkin seorang hakim bisa memutuskan seseorang meninggal karena racun tanpa adanya bukti dari otopsi. Otto menganggap bahwa proses hukum yang telah dijalankan penuh dengan kejanggalan dan ketidakadilan yang harus dibongkar melalui PK.
Baca juga: Airlangga dan Hamka Mundur Serentak, Golkar di Ujung Tanduk?
Meskipun demikian, Otto tetap menghormati proses hukum dan akan mengikuti jalur hukum yang tersedia. Namun, ia tetap berpendapat bahwa hukum seharusnya memberikan ruang bagi siapa pun, termasuk Jessica, untuk mengajukan PK jika merasa ada kejanggalan dalam proses pengadilan. “Sebagai lawyer, saya menghormati keputusan pengadilan, tapi hukum juga memberikan kesempatan bagi Jessica untuk mengajukan PK,” tambah Otto.
Otto juga mengungkapkan bahwa pihaknya telah menemukan bukti baru yang akan digunakan sebagai dasar pengajuan PK. Bukti tersebut, yang menurutnya adalah fakta lama yang tidak ditemukan saat kasus sedang berjalan, diyakini dapat mengubah hasil putusan pengadilan jika telah diketahui sebelumnya. “Novum ini adalah bukti yang ada pada saat perkara berlangsung, tetapi tidak kami temukan waktu itu. Jika saja bukti ini sudah ada, hasilnya pasti berbeda,” jelas Otto.
Namun, langkah ini dinilai sebagai upaya untuk mengaburkan fakta bahwa Jessica Wongso telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Kebebasan bersyarat Jessica, yang diberikan setelah menjalani hukuman selama hampir delapan tahun, juga menimbulkan tanda tanya. Otto mengaku terkejut dengan keputusan pembebasan bersyarat tersebut, bahkan pihaknya tidak pernah mengajukan permohonan untuk pembebasan bersyarat. “Terus terang, kita juga enggak tahu kepastian PB Jessica. Kita enggak pernah melakukan upaya untuk dibebaskan itu,” ucap Otto.
Kepala Humas Dirjen Pemasyarakatan, Deddy Eduar, dalam keterangannya menjelaskan bahwa Jessica mendapatkan remisi sebanyak 58 bulan 30 hari berdasarkan Sistem Penilaian Pembinaan Narapidana. Remisi ini yang menjadi dasar kebebasan bersyarat Jessica, yang kini diwajibkan melapor kepada Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Jakarta Timur-Utara dan menjalani pembinaan hingga 27 Maret 2032.
Keputusan pembebasan bersyarat ini, meskipun legal, menimbulkan berbagai reaksi negatif dari publik yang menganggap bahwa Jessica seharusnya menjalani hukuman penuh. Apalagi, dengan adanya rencana pengajuan PK, banyak pihak yang menilai bahwa Jessica dan kuasa hukumnya seolah tidak menghormati putusan pengadilan yang telah dijatuhkan.
Sementara itu, Otto Hasibuan menegaskan bahwa pihaknya akan terus berjuang untuk membuktikan bahwa Jessica Wongso tidak bersalah. Namun, langkah ini justru bisa memperpanjang kontroversi yang sudah ada dan memunculkan kembali ingatan publik akan tragedi yang terjadi pada tahun 2016 tersebut.
Keputusan untuk mengajukan PK dan kebebasan bersyarat Jessica akan menjadi ujian bagi sistem peradilan Indonesia, apakah mampu memberikan keadilan bagi semua pihak atau malah semakin menambah keraguan masyarakat terhadap integritas hukum di Indonesia. Publik pun kini menanti langkah berikutnya dari Jessica dan tim kuasa hukumnya, apakah akan membawa kasus ini kembali ke meja hijau atau tidak. Namun yang pasti, kontroversi ini belum akan berakhir dalam waktu dekat.
Sumber: Kompas.