InfoPenguasa.com – Situasi di lingkungan Kejaksaan Agung (Kejagung) semakin memanas setelah terungkapnya insiden pembuntutan terhadap Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Ardiansyah. Insiden ini memicu berbagai spekulasi dan menimbulkan kekhawatiran mengenai keamanan dan transparansi di lingkungan penegakan hukum.
Peristiwa pembuntutan terjadi di sebuah restoran Perancis di kawasan Cipete, Jakarta Selatan. Beberapa saksi mata melaporkan melihat personel Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri membuntuti Febrie. Pengungkapan ini menjadi topik hangat di lingkungan Korps Adhyaksa, terutama karena Febrie sedang menangani kasus besar dugaan korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di Bangka Belitung dengan nilai mencapai Rp 271 triliun.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Ketut Sumedana, berusaha meredam kekhawatiran publik dengan menyatakan bahwa peningkatan pengamanan merupakan hal yang biasa dalam penanganan kasus besar. “Jampidsus enggak apa, kok. Ada dia. Enggak masalah. Enggak ada apa-apa, kok. Biasa saja. Semua berjalan seperti biasa. (Peningkatan) pengamanan itu hal yang biasa kalau eskalasi penanganan perkaranya banyak,” ujarnya.
Namun, pernyataan ini tidak mampu meredakan kekhawatiran banyak pihak. Banyak yang bertanya-tanya mengapa Densus 88, yang biasanya fokus pada isu-isu terorisme, terlibat dalam operasi yang tampak mencurigakan terhadap seorang pejabat tinggi Kejagung.
Peningkatan Pengamanan dan Polisi Militer di Kejagung
Setelah insiden tersebut, Kejagung segera meningkatkan level pengamanan dengan melibatkan personel Polisi Militer. Langkah ini menambah kekhawatiran akan adanya ancaman serius terhadap keamanan Febrie dan proses hukum yang sedang berjalan. Sejumlah personel Polisi Militer kini berjaga di berbagai titik di area Kejagung, terutama di gedung tempat Febrie berkantor.
Seorang petugas keamanan di Kejagung yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan bahwa kehadiran Polisi Militer bertujuan untuk memastikan keamanan Febrie dan mencegah terulangnya insiden serupa. “Kami menugaskan Polisi Militer untuk menjaga agar tidak ada gangguan terhadap proses hukum yang sedang berjalan,” ujarnya.
Pelibatan Polisi Militer dalam pengamanan Kejagung bukanlah langkah yang diambil tanpa dasar hukum. Nota kesepahaman antara Kejagung dan TNI menjadi landasan hukum dari pelibatan ini. Menurut Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal R Nugraha Gumilar, pelibatan Polisi Militer di lingkungan Kejagung sudah diatur dalam Pasal 9 Nomor 4 Tahun 2023 dan Nomor NK/6/IV/2023/TNI yang ditandatangani pada 6 April 2023. “Ruang lingkup MoU tersebut ada pada Pasal 7, di antaranya adalah penugasan prajurit TNI di lingkungan kejaksaan, seperti Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil) dan dukungan bantuan personel TNI dalam pelaksanaan tugas dan fungsi kejaksaan,” jelasnya.
Insiden ini memicu berbagai pertanyaan dan kekhawatiran di kalangan publik dan pengamat hukum. Apakah pembuntutan ini terkait dengan upaya untuk menghalangi penyelidikan kasus korupsi besar? Mengapa Densus 88 terlibat dalam operasi yang tampaknya di luar lingkup tugas mereka? Apakah ini menunjukkan adanya friksi antara institusi penegak hukum?
Komisi III DPR RI berencana untuk memanggil pihak Kepolisian dan Kejagung untuk memberikan klarifikasi terkait dugaan pembuntutan ini. “Kami akan meminta penjelasan dari Polri dan Kejagung mengenai insiden ini. Transparansi sangat penting agar tidak menimbulkan spekulasi liar di masyarakat,” ujar salah satu anggota Komisi III yang tidak ingin disebutkan namanya.
Pengamat hukum menilai bahwa insiden ini bisa menjadi indikasi adanya permasalahan serius di internal lembaga penegak hukum. Bambang Widodo, seorang pengamat hukum terkemuka, mengatakan bahwa kejadian ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam koordinasi dan komunikasi antar lembaga penegak hukum. “Ini bukan hanya masalah keamanan Febrie, tetapi juga masalah integritas dan profesionalisme lembaga penegak hukum kita. Kasus ini harus diusut tuntas untuk menjaga kepercayaan publik,” ujarnya.
Keputusan untuk meningkatkan pengamanan dengan melibatkan Polisi Militer, meskipun memiliki dasar hukum, tetap memunculkan tanda tanya besar. Bagaimana bisa sebuah institusi penegak hukum yang seharusnya mampu menjaga keamanannya sendiri, harus meminta bantuan dari militer? Ini menunjukkan adanya krisis kepercayaan dan ketidakmampuan institusi tersebut dalam menangani ancaman dari dalam maupun luar.
Insiden pembuntutan terhadap Jampidsus Febrie Ardiansyah bukan hanya menambah ketegangan di lingkungan Kejagung, tetapi juga memicu kekhawatiran akan integritas dan keamanan proses hukum di Indonesia. Dengan berbagai pertanyaan yang belum terjawab, masyarakat dan para pengamat hukum menuntut transparansi dan tindakan tegas untuk mengungkap kebenaran di balik peristiwa ini. Komisi III DPR RI diharapkan segera mengambil langkah untuk memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang dan keadilan tetap terjaga di negeri ini.
Baca juga: Ganjar Pranowo Deklarasikan Posisi Oposisi terhadap Pemerintahan Prabowo-Gibran
Sumber: Kompas.