“Tidak ada negara republik yang abadi. Sebuah negara republik hanya akan tetap hidup selama warga negaranya menghendaki,” kata Edward J. Watts, dalam bukunya “Mortal Republic: How Rome Fell into Tyranny”. Buku ini menceritakan tentang Romawi, negara adidaya yang bertahan sebagai republik selama hampir lima abad, tapi berubah menjadi negara otoriter di abad pertama Sebelum Masehi.
Di dunia, banyak negara republik yang berubah menjadi negara diktator. Rusia, Polandia, Hungaria, Mesir, dan Turki adalah beberapa contoh faktual negara republik yang menjadi negara otoriter. Ironisnya, transformasi ke arah otoritarianisme ini didalangi pemimpin yang terpilih secara demokratis dan didukung oleh rakyatnya.
Vladimir Putin, misalnya, terpilih menjadi presiden Rusia untuk pertama kali secara demokratis dengan memenangkan 53% suara pada pilpres 26 Maret 2000. Tapi dia kemudian dia sukses menyiasati aturan pembatasan masa jabatan sehingga bisa berkuasa selama hampir 22 tahun sebagai presiden dan perdana menteri.
Dalam referendum yang digelar pada 25 Juni – 1Juli 2020, 78,56% pemilih Rusia mengukuhkan kediktatoran Putin dengan menyetujui amandemen konstitusi yang mengizinkan Putin berkuasa hingga tahun 2036. Tidak tertutup kemungkinan Putin akan menjadi presiden seumur hidup.
Saat masih menjabat sebagai presiden AS, Donald Trump terkenal dekat dengan Putin dan presiden-presiden otoriter lain seperti Kim Jong Un, Abdel Fatah Al Sisi dan Recep Tayyip Erdogan. Bahkan tidak jarang dia memuji-muji mereka.
“The man has very strong control over a country. … He’s been a leader. Far more than our president has been a leader,” komentar Trump mengenai Putin dalam wawancara dengan NBC News pada 2016, beberapa bulan sebelum menjadi presiden.
Trump pun dalam beberapa kesempatan secara terang-terangan menyatakan keinginannya untuk berkuasa lebih dari dua periode, melebihi aturan Konstitusi AS.
“…We’re going to win four more years in the White House. And then after that we’ll negotiate, right? …We’re probably entitled to another four after that,” kata Trump dalam ajang kampanye di Minden, Nevada pada 13 September 2020.
Michael Cohen, mantan pengacara sekaligus orang kepercayaan Trump, mengatakan kepada Forbes bahwa Trump tidak main-main dengan penyataannya soal berkuasa tiga periode. Menurut Cohen, Trump meyakini ia harus menjadi penguasa atau diktator dan ingin mengubah konstitusi AS agar bisa berkuasa selama tiga periode atau bahkan empat periode!
Tapi Trump kalah dalam pilpres 2020. Bahkan semua upaya untuk menggagalkan kemenangan Biden, termasuk 60+ gugatan hukum dan permohonan ke Wapres Mike Pence untuk menolak pengesahan electoral college di Rapat Pleno Kongres AS, tidak berhasil.2 dari 3 halaman
Trump Menginspirasi Voter Suppression
Kekalahan Trump di pilpres tidal otomatis membuatnya tersingkir dari Partai Republik. Trump tetap menguasai mesin politik partai melalui orang-orang kepercayaannya di Republican National Congres, DPR dan Senat Partai Republik, serta loyalitas penuh dari mayoritas pemilih Partai Republik.
Bahkan tuduhan Trump mengenai pilpres 2020 sarat kecurangan pemilu yang sebelumnya tidak didukung oleh partai, kini dibenarkan para politisi partai Partai Republik di banyak negara bagian. Dengan dalih mencegah kecurangan pemilu, para politisi Partai Republik tersebut mengajukan sejumah RUU yang akan mempersulit pemilih, terutama dari kelompok-kelompok minoritas, untuk mencoblos pada pemilu-pemilu mendatang atau melakukan voter suppression.
Di Georgia, misalnya, perubahan UU pemilu yang sudah ditandatangani Gubernur Brian Kemp memuat sejumlah perubahan fundamental yang mempersulit pemilih kulit berwarna untuk berpartisipasi dalam pemilu. Caranya antara lain dengan mengurangi jumlah drop box kertas suara, mengetatkan aturan absentee voting, tidak memperpanjang waktu pencoblosan jika sistem mengalami masalah, hingga larangan memberi makanan atau minuman kepada pemilih yang sedang mengantre di TPS.
Selain itu, perubahan UU pemilu memberi kekuasaan lebih besar kepada legislature (DPR dan Senat Negara Bagian) yang dikuasai Partai Republik untuk ikut mengatur Badan Pemilu Negara Bagian (State Election Board), termasuk memberhentikan anggota Badan Pemilu yang dianggap tidak perform.
Menurut Brennan Center for Justice di New York University, hingga 24 Maret kemarin, ada 361 rancangan undang-undang (RUU) yang membatasi partisipasi pemilih yang diperkenalkan di 47 negara bagian. Angka ini meningkat dari hanya 35 RUU di 15 negara bagian pada Februari 2020 atau melesat lebih dari 1000%.
Dari 361 RUU tersebut, lebih dari setengahnya akan mempersulit pemilih melakukan absentee voting yakni mencoblos tanpa harus datang ke TPS. Sedangkan seperempat dari 361 RUU tersebut menerapkan aturan ketat soal keharusan mencantumkan nomor kartu identitas dalam kertas suara.
Data CNN menyebutkan bahwa Texas, Georgia dan Arizona menjadi negara bagian yang paling banyak mengeluarkan RUU seperti itu, dengan masing-masing 49, 25 dan 23 RUU. Sementara Michigan, Wisconsin dan Pensylvania – tiga negara bagian yang menjadi kunci kemenangan Joe Biden pada 2020 – sudah menyiapkan 11 hingga 15 RUU yang bersifat restriktif.
Mengingat Partai Republik menguasai legislature di 30 negara bagian, maka sebagian besar RUU tersebut hampir dipastikan menguntungkan Partai Republik. Mereka diuntungkan bukan karena bertambahnya pemilih Partai Republik, tapi karena pemilih Partai Demokrat akan menyusut.
Menurut data Pew Research Center, 46% pemilih AS mencoblos menggunakan absentee ballots pada pilpres 2020, dengan hampir 58% pendukung Biden mencoblos secara absentee dan 32% pendukung Trump melakukan hal serupa. Artinya, yang paling terimbas oleh pengetatan aturan absentee ballot pemilih Partai Demokrat.
Mengenai kartu identitas, organisasi nirlaba Project Vote mengatakan bahwa 15% warga kulit hitam, 10% kaum hispanik, 15% warga berusia 17-20 tahun dan 11% warga berusia 21-24 tahun di AS tidak memiliki kartu identitas. Hanya 5% pemilih kulit putih yang tidak memiliki kartu identitas. Lagi-lagi Partai Demokrat yang dirugikan karena kelompok minoritas dan kaum muda adalah konstituen penting mereka.
Hal yang paling mengkhawatirkan adalah kewenangan legislature yang lebih besar dalam mengatur badan pemilu, karena situasi tersebut memungkinkan badan penyelenggara pemilu yang seharusnya netral, menjadi partisan.
Menurut FiveThirtyEight, secara keseluruhan ada 13 negara bagian di AS yang memindahkan atau berupaya memindahkan kewenangan pengaturan pemilu dari badan pemilu setempat yang bipartisan atau non-partisan ke state legislature. Secara teoritis, hal ini membuat pejabat di badan pemilu yang diangkat legislature bisa menggagalkan hasil pemilu, dengan cara menolak pengesahan atau membuang ribuan suara yang dianggap meragukan.