Jakarta: Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengajak publik memikirkan ulang sistem parlementer. Saat ini dinilai momen yang tepat untuk memperkuat demokrasi dan melahirkan stabilitas kebijakan jangka panjang.
“Ini saat paling tepat memulai percakapan mengenai kehidupan bernegara kita ke depan. Melampaui perdebatan masa jabatan presiden apakah dua atau tiga periode. Ini saatnya memikirkan ulang sistem presidensial yang kita terapkan, sambil mencoba mempelajari kembali sistem parlementer,“ kata Plt Sekjen DPP PSI, Dea Tunggaesti, Minggu, 18 April 2021.
Dea menyebut ada sejumlah alasan sistem parlementer patut dipelajari kembali. Pertama, sistem ini relatif bisa melawan ancaman gelombang populisme politik. Sistem presidensial membuka peluang terpilihnya kandidat dengan ideologi ekstrem ke puncak kekuasaan. Membuka ruang lebih luas kepada para demagog untuk membajak demokrasi dengan menunggangi sentimen ras atau agama agar terpilih menjadi presiden.
“Sistem parlementer relatif mampu menjaga politik di arus mainstream, karena elemen-elemen ekstrem akan difilter ulang dalam proses rekrutmen internal partai maupun melalui proses politik parlemen,“ kata Dea.
Alasan kedua, sistem presidensial lebih rentan konflik. Pengalaman dunia memperlihatkan, pemilihan dua kandidat presiden yang berlangsung sengit melahirkan masyarakat yang terbelah, menciptakan ketegangan terus-menerus dan berpotensi menciptakan konflik terbuka.
“Kalau ingin kehidupan masyarakat kembali normal, ketegangan politik tidak termanifes dalam bentuk konflik jalanan, alternatifnya adalah mengembalikan politik ke ruang-ruang perdebatan di gedung parlemen,” ujarnya.
Ketiga, kata Dea, mengupayakan agar politik tidak terlalu banyak menyebabkan guncangan ekonomi karena kebijakan yang berganti-ganti setiap lima tahun.
“Beberapa penelitian memperlihatkan, sistem parlementer dibanding presidensial lebih mampu menciptakan stabilitas kebijakan jangka panjang,” katanya.
Dea menambahkan, studi memperlihatkan sistem presidensial memiliki sejumlah masalah. Di antaranya, persaingan legitimasi antara presiden dan parlemen, karena keduanya merasa dipilih rakyat. Jika terjadi perbedaan pendapat atau konflik tajam di antara keduanya, pemerintahan terancam mengalami kebuntuan.
“Kelemahan lain, jika presiden mempunyai kecenderungan otoriter, ia akan terus-menerus mencari cara memperluas kekuasan dan menjadikan dirinya diktator. Sistem presidensial juga tidak menyediakan fleksibilitas karena presiden terpilih tidak bisa diganti di tengah jalan meski kinerjanya buruk. Kecuali melanggar konstitusi hingga masa jabatannya berakhir,” ujar Dea.
Dalam konteks Indonesia, lanjut Dea, situasi menjadi rumit karena Indonesia menerapkan presidensialisme dengan multipartai. Akibatnya, sulit menciptakan kemiripan mayoritas, karena presiden terpilih bisa berasal dari partai yang tidak memenangkan pemilu atau tidak memiliki kursi mayoritas di parlemen.
“Skenario politik yang biasanya terjadi adalah kawin paksa antar-partai yang berseberangan, baik secara ideologi atau kebijakan, demi melahirkan koalisi mayoritas di parlemen. Semakin besar koalisi semakin butuh biaya politik besar, karena semakin banyak hal dikompromikan, dan pada gilirannya menciptakan situasi rentan korupsi,” katanya.
Dea mengungkapkan, presiden menjadi terus-menerus bernegosiasi dengan berbagai kekuatan di parlemen, agar kebijakannya mendapat persetujuan. “Akibatnya pemerintahan terancam tidak bisa berjalan efektif,” ujarnya.
Menurutnya, parlemen dan partai politik adalah elemen utama demokrasi. Demokrasi yang sehat harus dimulai dari partai politik.
“ini saatnya memaksa partai politik berubah. Demokrasi menyediakan kesempatan kepada warga untuk menghukum partai yang tidak amanah dengan cara tidak memilihnya kembali,” kata Dea.
Dea mengatakan, setiap warga berhak berkampanye mengajak orang agar tidak memilih partai yang bermasalah. “Inilah kekuatan utama demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat,” ujarnya.
Sistem parlementer akan memaksa partai politik untuk melakukan demokratisasi internal dan mencari calon anggota parlemen terbaik agar bisa mengalahkan calon partai lain. Hubungan antara pemilih dan anggota parlemen terpilih juga akan semakin dekat, yang ujungnya memaksa anggota parlemen selalu mendengar suara konstituen jika ingin kembali terpilih.
Indonesia, kata Dea, pernah gagal ketika melaksanakan sistem demokrasi parlementer pada era 1950-an. Tapi, ujarnya, masalah terbesar Indonesia adalah melaksanakan sebuah sistem saat berbagai syarat dasar demokrasi belum tersedia.
“Pada masa awal pembentukan republik, partai politik dengan beragam warna ideologi yang saling antagonistis bersaing ketat. Situasi ini menyebabkan pertentangan tajam di antara partai politik di parlemen. Pada sisi lain, Presiden Soekarno memiliki konsepsi berbeda tentang kepresidenan dengan idenya mengenai Demokrasi Terpimpin,” kata Dea.
Dalam konteks politik hari ini, kata Dea, pertentangan tidak setajam pada masa lalu karena semua kekuatan politik relatif telah menerima prinsip dasar bernegara yakni Pancasila. Penyebab lain, adalah kondisi sosial-ekonomi pada masa pelaksanaan demokrasi parlementer sangat lemah.
“Studi memperlihatkan, semakin baik kondisi sosial ekonomi masyarakat, akan semakin bisa membuat demokrasi bertahan lebih lama. Saat ini, kondisi sosio ekonomi kita jauh lebih baik, demikian pula kondisi keamanan yang stabil,” ujarnya.
Dea menyebut lima pemilu terakhir yang dijalankan Indonesia adalah pemilu yang demokratis. Kata Dea, Ini adalah momentum baik untuk menyelesaikan pekerjaan rumah dalam memperbaiki demokrasi Indonesia.
“Hari ini, kita sudah memiliki berbagai syarat dasar bagi keberlanjutan demokrasi. Ini saatnya berdiskusi tentang hal-hal yang lebih fundamental, tentang kehidupan bernegara di masa yang akan datang,” katanya.
(FZN)